Recent Posts

Rabu, 24 Agustus 2011

di jalan sunnah kita menikah #2

Bismillahirrahmaanirrahiim
In The Name of Alloh The Most Gracious The Most Merciful

Di Jalan Sunnah Kita Menikah
Panduan Praktis Pernikahan Sesuai Sunnah
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan -hafizhahullah






Akad Nikah, Rukun dan Syarat-Syaratnya
Disunnahkan ketika hendak akad nikah, memulai dengan khutbah (khutbatul haajah) yang disampaikan oleh calon mempelai pria atau orang lain diantara para hadirin. Lafadz dari khutbah tersebut antara lain dengan membaca :
“Sesungguhnya segala puji bagi Alloh. Kami memuji-Nya,memohon pertolongan dan ampunan-Nya, serta kami berlindung kepada Alloh dari kejahatan diri kami dan keburukan amal usaha kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Alloh, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya dan barangsiapa yang disesatkan oleh Alloh, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi melainkan Alloh semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.” (HR. Imam yang lima dan Tirmidzi menghasankan hadits ini).
Setelah itu kemudian membaca tiga ayat Al-Qur’an yakni surat Ali-‘Imran : 102, An-Nisaa’ : 1 dan Al-Ahzab:70-71.        
     
Rukun Akad Nikah
1.      Adanya 2 calon pengantin yang terbebas dari penghalang –penghalang sahnya nikah, misalkan wanita tersebut bukan termasuk orang yang diharamkan untuk dinikahi (mahram) baik karena senasab, sepersusuan atau karena sedang dalam masa ‘iddah, atau sebab lain.  Juga tidak boleh jika calon mempelai laki-lakinya kafir sedangkan mempelai wanita seorang muslimah. Dan sebab-sebab lain dari penghalang-penghalang syar’i.
2.      Adanya ijab yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikannya dengan mengatakan kepada calon mempelai pria : “Saya nikahkan kamu dengan Fulanah”
3.      Adanya qobul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh calon mempelai pria atau orang yang telah diberi ijin untuk mewakilinya dengan mengucapkan : “Saya terima nikahnya”
Syaikhul Islam Ibnu Taymiah Rahimahulloh dan muridnya, Ibnul Qayyim Rahimahulloh menguatkan pendapat bahwa nikah itu sah dengan segala lafadz yang menunjukkan arti nikah, tidak terbatas dengan lafadz ankahtuka atau zawwajtuka.
Orang yang membatasi lafadz nikah dengan ankahtuka atau zawwajtuka karena dua lafadz ini terdapat dalam Al-Quran sebagaimana firman Allohu Ta’ala :
”Maka tatkala Zaid telah mengakhirkan keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan kamu dengan dia”. (Al-Ahzab:37).
Dan firman Allohu Ta’ala lainnya :
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu.”  (An-Nisaa’:22).
Akan tetapi kejadian yang disebutkan dalam ayat tersebut tidak berarti pembatasan dengan lafadz tersebut (tawjiz atau nikah). Wallahu a’lam. Dan akad nikah bagi orang yang bisu bisa dengan tulisan atau isyarat yang dapat dipahami. Apabila terjadi ijab dan qobul, maka sahlah akad nikah tersebut walaupun diucapkan dengan senda gurau tanpa bermaksud menikah. Karena Rasululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
“Ada 3 hal yang apabila dilakukan dengan main-main maka jadinya sungguhan dan jika dilakukan dengan sungguh-sungguh maka jadinya pun sungguhan. Yaitu : talak, nikah dan ruju’.” (HR. Tirmidzi no 1184).

Syarat Sahnya Nikah
1.      Menyebutkan secara jelas ( ta’yin) masing-masing kedua mempelai dan tidak cukup hanya mengatakan : “ Saya nikahkan kamu dengan anak saya” apabila mempunyai lebih dari satu anak perempuan. Atau dengan mengatakan : “Saya nikahkan anak perempuan saya dengan anak laki-laki anda”, padahal ada lebih dari satu anak laki-lakinya. Ta’yin bisa dilakukan dengan menunjuk langsung kepada calon mempelai, atau menyebutkan namanya, atau sifatnya yang dengan sifat itu bisa dibedakan dengan yang lainnya.
2.      Kerelaan kedua calon mempelai. Maka tidak sah jika salah satu dari keduanya dipaksa untuk menikah, sebagaimana hadits Abu Hurairah : “Janda tidak boleh dinikahkan sehingga dia diminta perintahnya, dan gadis tidak dinikahkan sehingga diminta ijinnya.” Mereka bertanya, : “Wahai Rasululloh bagaimana ijinnya?” Beliau menjawab : “Bila ia diam.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kecuali jika mempelai wanita masih kecil yang belum baligh maka walinya boleh menikahkan dia tanpa seijinnya.
3.      Yang menikahkan mempelai wanita adalah walinya. Berdasarkan sabda Rasululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam :
“Tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya wali.” (HR. Imam yang lima kecuali Nasa’i)
Apabila seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa wali maka nikahnya tidak sah. Di antara hikmahnya, karena hal itu merupakan penyebab terjadinya perzinahan dan wanita biasanya dangkal dalam berfikir untuk memilah sesuatu yang paling maslahat bagi dirinya. Sebagaimana firman Allohu Ta’ala dalam Al-Qur’an tentang masalah pernikahan ditujukan kepada para wali :
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu.” (An-Nuur : 32).
“Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka.” (Al-Baqarah : 232)
Dan ayat-ayat lainnya.
Wali bagi wanita adalah bapaknya, kemudian yang diserahi tugas oleh bapaknya, kemudian ayah dari bapak terus ke atas, kemudian anaknya yang laki-laki kemudian cucu laki-laki dari anak laki-lakinya terus ke bawah, lalu saudara laki-laki sekandung, kemudian saudara laki-laki sebapak, kemudian keponakan laki-laki dari saudara laki-laki sekandung kemudian sebapak, lalu pamannya yang sekandung dengan bapaknya, kemudian pamannya yang sebapak dengan bapaknya, kemudian anaknya paman, lalu kerabat-kerabat yang dekat keturunan nasabnya seperti ahli waris, kemudian orang yang memerdekakannya (jika dulu ia seorang budak), kemudian baru hakim sebagai walinya.
4.      Adanya saksi dalam akad nikah, sebagaimana hadits Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang diriwayatkan oleh Jabir Radhiyallohu ‘anhu :
“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali dan dua orang saksi yang adil (baik agamanya-pent)”. (HR. Al-Baihaqi dari Imran dan dari Aisyah, shahih. Lihat Shahih Al-Jami’us Shaghir oleh Syaikh Al-Albani no 7557).
Maka tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil.
Imam Tirmidzi Rahimahulloh berkata :
“Itulah yang difahami oleh para sahabat Nabi dan para Tabi’in, dan para ulama setelah mereka. Mereka berkata : “ Tidak sah menikah tanpa ada saksi”. Dan tidak ada perselisihan dalam masalah ini diantara mereka. Kecuali dari kalangan ahlul ilmi yang muta’akhirin (belakangan).”

*sumber: Majalah Akhwat Shalihah Vol 13/1432/2011 halaman 45-48

-to be continued-

0 komentar:

Posting Komentar

feel free to drop any comments, friends! ^^