In The Name of Alloh The Most Gracious The Most Merciful
SURGICAL MANAGEMENT OF RENAL AND URINARY TRACT TRAUMA
dr. HM. Untung Tranggono, MS, SpB, SpU, PA (K)
referensi lain : Smith’s General Urology
-nafsa-
Baca do’a dulu ya teman..^^
Trauma pada ginjal dan saluran kemih sebenarnya terjadi hanya sekitar 5 % dari trauma yang biasa terjadi. Dan 80% dari nya adalah trauma pada ginjal dengan dominasi trauma tumpul sehingga mayoritas dari trauma tersebut tidak membutuhkan intervensi operasi. Sebelum kita bahas tentang macam-macam manajemen dari trauma pada ginjal dan saluran kemih kita harus tahu terlebih dahulu pemeriksaan yang bisa menegakkan diagnosis dari trauma tersebut.
Penegakan Diagnosis Trauma Ginjal dan Saluran Kemih
1. Pemeriksaan Fisik : pada pemeriksaan fisik kita bisa menemukan tanda trauma pada daerah kostovertebra dimana pasien akan merasa nyeri pada daerah tersebut. Selain itu mungkin bisa ditemukan massa retroperitoneal dengan penonjolan pada regio flank, atau malah tampak mendatar. Ada hematoma dan urinoma ( bahaya urinoma ini dia bisa nyebabin nekrosis, kenapa? Soalnya urine itu ada sifat menghancurkan zat yang ada didalamnya secara biokimiawi). Selain itu mungkin kita juga bisa menemukan adanya peritoneal sign, misalnya perutnya tegang karena menahan sakit, rebound tenderness, dsb.
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Kateterisasi à sebelum dilakukan kateterisasi kita harus cek dulu adakah ruptur uretra dari pasien ini (adakah floating prostate, meatal bleeding dan hematoma perineal?). Jika tidak ada, kita bisa masukkan kateter tapi kalo ada ruptur uretra kita bisa lakukan retrograde urethrogram.
b. Excretory Urografi à hampir mirip dengan IVU (intravenous urografi). Jadi pada pasien yang udah di IV line kita masukkan 2 ml/kg BB material kontrast. Tunggu 10 menit kemudian lakukan foto polos abdomen untuk memvisualisasi ginjal. Pada pasien yang tampak syok, kita bisa lakukan IVU ini saat resusitasi. IVU juga bisa kita lakukan pada pasien hematuria karena truma tumpul yang disertai dengan syok dan mikrohematuria dan pasien trauma tajam dengan gross/mikro hematuria.
c. Retrograde Cystography à memenuhi kandung kemih dengan kontrast ( 300 ml). Ada dua saluran yang digunakan , yang satu untuk memenuhi kandung kemih dan lainnya untuk menyalurkan kontras setelah di drainase. Nah, lakukan pengambilan film ketika kandung kemihnya masih penuh dan ketika sudah kosong. Jika ada kelainan pada kandung kemih maka akan tampak.
d. UrethrographyàMasukkan kateter berukuran kecil (12F) di meatus urethra externa kemudian di balloning dengan 3 ml air untuk menahan agar ujung kateter tidak lepas. Setelah injeksi retrograde maka akan tampak kontras melewati uretra. Ketika ada trauma di urethra maka ekstravasasi dai kontras tersebut akan tampak.
e. Arteriographyà bermanfaat untuk mengecek vaskularisasi dari parenkim ginjal dan adanya perdarahan pada ginjal atau pelvis.
f. Computed tomography (CT)à membantu penilaian terhadap ukuran dan perluasan dari hematoma retroperitoneal dan trauma parenkim ginjal.
Sik, sebelumnya teman-temen udah ngerti maksudnya retrograde atau anterograde belum? Jadi kalo yang retrograde itu kita masukkan kontrasnya berlawanan dengan aliran dari urin, jadi kita masukkan nya via OUE. Nah kalo yang anterograde itu kita masukkan searah aliran dari urine jadi dimasukkan via ginjal. Sippo??
Sekarang kita bahas ke traumanya.
RENAL INJURY/TRAUMA GINJAL
Trauma ginjal adalah trauma yang paling sering ada pada trauma traktus urinarius. Trauma yang terjadi pada ginjal dapat dibagi menjadi dua macam berdasarkan penyebabnya. Pertama, adalah trauma tumpul yang menyebabkan ginjal mengalami tekanan dari struktur-struktur disekitarnya. Contohnya adalah apabila ada hentakan kuat dari dinding abdomen bagian depan (mungkin karena kecelakaan mobil dsb). Saat itu ginjal akan mengalami tekanan mulai dari hilum renalis kemudian beradiasi hingga ke parenkim. Selain itu ketika seseorang jatuh dari ketinggian dengan posisi pantat menyentuh tanah terlebih dahulu. Maka ginjal akan mendapat tekanan balik dari struktur diatasnya. Nah yang kedua adalah trauma yang disebabkan karena penetrasi langsung pada ginjal (misal ditusuk pake pisau di regio flank, atau kena tembak). Selain itu ada pula penyebab lain, yakni trauma tumpul dengan indikasi lain untuk dilakukan celiotomy (insisi di dinding abdomen).
Klasifikasi trauma ginjal
Secara umum dibagi menjadi tiga jenis.
1. Trauma ginjal minor ( 85% kasus) à ada contusion dan memar dari parenkim ginjal dan subscapular hematoma atau ada laserasi superfisial dari korteks ginjal. Jenis trauma ini biasanya tidak membutuhkan intervensi bedah.
2. Trauma ginjal mayor ( 15 % kasus) à Laserasi dalam dari korteks dan medulla ginjal, terkadang mencapai collecting system sehingga telah terjadi ekstravasasi urin di spasium perirenal. Ada hematoma perinephric dan retroperitoneal yang luas. Selain itu laserasi yang banyak di ginjal dapat menyebabkan ginjal menjadi remuk.
3. Trauma vaskuler (terjadi 1 % dari trauma tumpul) à Ada avulsi (remuk, patah ) dari arteri atau vena renalis dan mungkin arteri segmentalis. Bisa juga ada peregangan di arteri renalis tanpa avulsi yang dapat menyebabkan thrombosis dari arteri renalis. Trauma vaskuler sulit di diagnosis hingga ginjal sudah mengalami kerusakan yang parah.
Penatalaksanaan Trauma Ginjal
1. Tindakan emergensi : berfungsi untuk memanajemen kondisi shock dan perdarahan dengan benar serta melakukan resusitasi yang tepat pada pasien.
2. Tindakan bedah, dibagi menjadi 3:
a. Trauma tumpul
85% kasus dengan trauma tumpul tidak membutuhkan tindakan bedah. Perdarahan akan berhenti dengan sendirinya apabila pasien melakukan bedrest dan hydrasi yang baik. Kasus trauma tumpul yang membutuhkan operasi adalah apabila disertai dengan perdarahan retroperitoneal yang persisten, ekstravasasi urin, bukti adanya parenkim ginjal yang tidak viable lagi, serta adanya trauma pada vena, arteri dan pelvis renalis.
b. Trauma Penetrasi (Tajam)
Trauma tajam biasanya membuthkan tindakan bedah. Pengecualian dari tindakan bedah apabila pada trauma tajam ini hanya terjadi trauma parenkim minor tanpa ekstravasasi urin.
c. Penatalaksaan komplikasi
Komplikasi dari trauma ginjal ada beberapa macam dan membutuhkan penatalaksanaan yang benar. Retroperineal urinoma dan abses perinephric akan membutuhkan operasi drainase yang tepat. Hypertensi yang berlebihan membutuhkan perbaikan vasa renalis bahkan mungkin perlu dilakukan nephrectomy. Selain itu, hydronephrosis juga membutuhkan operasi nephrectomy yang tepat.
Menurut American Association for the Surgery of Trauma Organ Injury Severity Scale for the Kidney ada beberapa grading dari renal injury , yakni :
Grading | Terapi |
I. Contusion : Microscopic or Gross Hematuria, temuan radiografis masih normal atau hematoma subscapular tanpa ada leserasi dari parenkim | Observasi |
II. Perirenal hematoma atau laserasi < 1cm dari parenkim ginjal tanpa ektravasasi urin | Observasi di titik trauma tumpul pada pasien yang stabil, renorraphy dengan pendekatan kapsuler dan pledgetes sutures atau jahitan jala. |
III. Laserasi > 1cm dari parenkim ginjal tanpa ruptur dari collecting system atau ekstravasasi urin. | |
IV. Laserasi parenkim hingga melebihi korteks ginjal dan collecting system serta di vasa segmentalis (sudah ada hematuria) atau bisa juga terjadi thrombosis di arteri renalis segmentalis tanpa laserasi parenkim | Penutupan calices selama perbaikan atau nephrectomy parsial, absorbable interrupted suture, mencegah urinoma dan mendrainase perinephric Untuk pasien stabil : - Perbaikan Ginjal - Pertial Nephrectomy - Nephrectomy Untuk pasien yang tidak stabil : - Nephrectomy - Ureterectomy |
V. Thrombosis dari arteri renalis, ada mutliple major laseration sehingga ginjal tampak remuk dan adanya avulsi dari arteri dan vena renalis. |
NB : Grade I-II : Trauma ginjal minor, Grade III-V : Trauma ginjal mayor
Agar kita bisa melakukan eksposure pada ginjal maka kita dapat melakukan rotasi medial pada struktur usus disekitarnya. Selain kita harus mengontrol vaskularisasi pada ginjal dengan cara mengisolasi hilum renalis terlebih dahulu atau dengan melakukan rotasi medial pada ginjal.
Untuk ureterectomy biasanya dilakukan pada kasus sbb : Transititional cell carcinoma, Calculi (batu), hydroureter, dan infeksi. Namun, kelemahan dari ureterectomy ini adalah menghabiskan cukup banyak waktu. Saat melakukan terapi pada ginjal yang rusak, kita juga perlu melakukan penilaian terhadap kondisi dari ginjal yang kontralateral dan ginjal yang rusak tsb. Penilaian itu mencakup ada tidaknya ginjal, ukuran, trauma. Penilaian dapat dilakukan dengan IVP, methylene blue dan FAST. Nah, apabila kita perlu untuk melakukan reimplantasi dari ginjal kita harus memastikan terjaganya dari vasa renalis dan ureter agar tetap berfungsi dengan baik. Adapun batasan iskemiknya dalah 4 jam dengan air hangat.
Sedangkan yang dimaksud dengan renal artery thrombosis adalah thrombosis yang biasanya terjadi karena adanya trauma berupa regangan pada vasa renalis. Trauma yang terjadi biasanya adalah trauma tumpul dan bukan merupakan indikasi untuk dilakukannya intervensi bedah. Apabila intervensi pada renal artery thrombosis ini tertunda maka akan memunculkan komplikasi berupa hipertensi, infeksi dan nyeri yang kronis.
Prognosis Trauma Ginjal
Apabila di follow-up dengan baik, trauma ginjal akan memberikan prognosis yang cukup baik dengan pengembalian fungsi ginjal dan penyembuhan luka secara spontan. Follow-up yang dapat dilakukan untuk memonitor penatalaksaan pada trauma ginjal antara lain adalah dengan melakukan urography dan monitoring tekanan darah. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi komplikasi yang mungkin terjadi antara lain adalah hydronephrosis dan hypertension.
URETERAL INJURY/TRAUMA URETERAL
Trauma pada ureter sebenarnya jarang terjadi. Trauma ureter dapat terjadi pada tindakan operasi pelvis yang sulit, misalnya karena luka tembak. Trauma ureter dapat pula terjadi pada tindakan transurethral resection yang dapat melukai ureter pars intramural. Trauma ureter yang sudah sangat parah dapat menyebabkan ureter mengalami avulsi dari pelvis renalisnya.
Etiologi dari trauma ureter sendiri ada beberapa macam. Misalnya ada nya massa yang besar di rongga pelvis baik jinak maupun kanker. Massa ini akan mendesak ureter ke arah lateral dan memunculkan reaksi fibrosis. Ketika massa tersebut diangkat, maka akan ada kemungkinan ureter mengalami trauma karena malposisi anatominya. Selain itu, pada operasi dengan kesulitan yang tinggi dirongga pelvis, ureter secara tidak sengaja akan dapat terligasi atau terpotong. Pada kasus yang demikian ini, kerusakan ginjal dan sepsis sebagai akibat dari trauma ureter tadi akan muncul setelah operasi. Jika trauma ureter tidak di ketahui oleh dokter, maka akan muncul ekstravasasi urin dan urinoma. Akibat dari adanya ekctravasasi urin di rongga intraperitoneal , maka pasien akan mengalami ileus dan peritonitis. Untuk mencegah hal seperti itulah penting bagi seorang dokter untuk mengetahui letak ureter dengan baik dan benar. Untuk tahu letak ureter, kita bisa mencari di bifurcatio arteri iliaca dan selanjutnya melacak ke arah distal dan proximalnya sampai kita yakin struktur tersebut adalah ureter.
Penatalaksanaan Trauma Ureter
Pada prinsipnya, penatalaksaan pada ureter dapat dilakukan dengan beberapa macam cara. Untuk trauma ureter yang disebabkan saat operasi maka kemungkinan terbaik untuk memperbaiki ureter yang telah rusak adalah tepat pada saat operasi dilakukan. Namun apabila 7-10 hari setelah operasi trauma ureter baru diketahui, maka dapat dilakukan eksplorasi ulang dan perbaikan ureter sesegera mungkin. Jika trauma ureter terlambat diketahui, maka dapat dilakukan percutaneous nephrostomy. Untuk jaringan yang dirasa masih viable sesegera mungkin dilakukan debridement, dan apabila dilakukan transectional ureter maka dapat menggunakan jahitan terputus yang dapat diserap oleh tubuh.
Salah satu cara yang sering dikenal dalam penatalaksaan trauma ureter adalah dengan pemasangan stenting. Stenting itu semacam silikon yang dimasukkan di anastomosis ureter (pasca penatalaksanaan) sebelum ditutup. Stenting yang biasa digunakan adalah “double J’d’” stenting. Interna stenting dapat bermanfaat untuk menjaga agar ureter yang sudah diperbaiki tetap memiliki diameter yang konstan selama proses penyembuhan serta untuk mencegah ekstravasasi urin.
Secara umum, trauma pada ureter terbagi menjadi beberapa jenis berdasarkan letak traumanya. Sehingga penatalaksaan dari jenis-jenis trauma ini pun berbeda tergantung pada letaknya dari ureter.
1. Trauma ureter bagian bawah (lower ureteral injuries)
Penatalaksaan yang dapat dilakukan pada trauma ureter bagian bawah antara lain adalah dengan reimplantasi ureter yang dikombinasikan dengan teknik Psoas-Hitch. Teknik ini dilakukan dengan cara membuat insisi pada dinding posterior dari vesica urinaria. Setelah di insisi, kemudian vesica urinaria di tarik mendekat ke arah musculus iliopsoas dan dijahit. Setelah itu ureter dari sisa yang bagian distal diimplantasi dan di beri stenting dan kemudian dijahit ke mukosa vesica urinaria. Manfaat dari teknik ini adalah mencegah tekanan yang berlebihan dari anastomosis yang dilakukan di ureter tersebut. Selain teknik ini, dapat dilakukan pula transureteroureterostomy apabila di sepertiga distal ureter telah terjadi urinoma yang menyebar dan infeksi pelvis. Prosedur ini akan memungkinkan anastomosis yang dilakukan letaknya jauh dari area yang mengalami proses patologis.
2. Trauma ureter bagian tengah (midureteral injuries)
Trauma ureter bagian tengah dapat diperbaiki dengan menggunakan ureteroureterostomy primer atau transureteroereterostomy. Selain itu dapat pula menggunakan teknik Boari Bladder Flap. Teknik ini dilakukan dengan cara membentuk saluran uretra dari lapisan vesica urinaria. Setelah saluran terbentuk kemudian disatukan dengan uretra yang masih viable.
3. Trauma ureter bagian atas ( upper ureteral injuries)
Trauma ureter bagian atas dilperbaiki dengan ureteroureterostomy primer. Selain itu bisa dilakukan ureterocalycostomy dan transureteroureterostomy. Yang perlu diingat pada transureteroureterostomy pada ureter bagian proximal tidak begitu direkomendasikan. Hal ini dikarenakan dapat membuat ginjal yang tidak trauma menjadi berisiko.
Prognosis Trauma Ureter
Apabila diagnosis dan manajemen awal dari trauma ureter dilakukan sejak dini, maka prognosisnya akan sangat bagus. Penundaan dari diagnosis akan memperparah prognosis karena akan muncul berbagai macam komplikasi, antara lain adalah infeksi, hydronephrosis, abses dan pembentukan fistula.
BLADDER INJURY/TRAUMA VESICA URINARIA
Trauma vesica urinaria biasanya terjadi karena adanya tekanan dari luar dan sering diasosiasikan dengan fraktur pelvis. Selain itu trauma pada vesca urinaria dapat terjadi akibat adanya prosedur di kelainan ginekologis dan pelvis contohnya pada perbaikan hernia dan operasi transurethral.
Secara patogenesis dan patologis, trauma pada vesica urinaria dibagi menjadi dua macam, yakni trauma Intraperitoneal dan Ekstraperitoneal. Trauma ekstraperitoneal terjadi secara sekunder akibat adanya fraktur pelvis. Fragmen tulang yang patah dapat menyebabkan robekan dari dinding vesica urinaria. Apabila urine dalam vesica urinaria ternyata terinfeksi, maka akan dapat menyebabkan abses pelvis dan inflammasi pelvis yang parah. Tipe yang kedua adalah trauma intraperitoneal. Trauma intraperitoneal biasanya terjadi pada vesica urinaria yang sudah penuh kemudian mengalami trauma tumpul dari luar. Karena bagian atas dari vescia urinaria tertutup oleh peritoneum, maka ketika terjadi tekanan dari luar di vesica urinaria yang penuh, terjadilah peningkatan tekanan intravesica. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya laserasi di bagian atas dan urin dapat masuk ke rongga abdomen. Selain itu intraperitoneal trauma pada vesica urinaria dapat juga disebabkan oleh adanya trauma tajam dan membutuhkan intervensi bedah.
Penatalaksaan Trauma Vesica Urinaria
1. Tindakan Emergensi à terutama dilakukan untuk memanajemen shock dan perdarahan yang terjadi
2. Tindakan Bedah à lakukan insisi di lower midline abdomen, namun hindarilah hematoma yang biasanya ada disebelah lateral vesica urinaria. Hal ini dikarenakan apabila kita masuk kedalam hematomanya maka akan menyebabkan peningkatan perdarahan dari tamponade hematoma tersebut. Selain itu dapat meningkatkan risiko abses pelvis karena infeksi. Tindakan bedah dibagi menjadi sbb:
a. Ekstraperitoneal Trauma
Dapat dilakukan kateterisasi uretra selama 10 hari. Apabila laserasi mencapai leher kandung kemih maka lakukan pembedahan untuk memperbaikinya. Jahitan yang bisa dipakai adalah dengan menggunakan benang jahitan yang dapat diserap, seperti asam polygolic atau benang kromat. Rekonstruksi dengan jahitan harus dilakukan secara sempurna agar pasien tetap memiliki kontrol kemih yang normal.
b. Intraperitoneal Trauma
Trauma intraperitoneal diperbaiki dengan melakukan pendekatan transperitoneal. Peritoneum harus di tutup dengan hati-hati di seluruh luka yang ada. Vesica urinaria kemudian ditutup dengan lapisan yang terpisah dengan menggunakan jahitan yang dapat diserap. Urin yang sudah terekstravasasi harus dipindahkan dan pemasangan suprapubic cystostomy haruslah di daerah ekstraperitoneum dari vesica urinaria.
c. Pelvic Fracture
Pada kasus fraktur pelvis yang stabil, pasien mungkin masih bisa rawat jalan selama 4-5 hari tanpa kesulitan. Namun apabila fraktur pelvisnya tidak stabil maka diperlukan fiksasi untuk mencegah kondisi yang bertambah parah.
d. Pelvic Hematoma
Hematoma dapat terjadi akibat adanya pecahnya pembuluh darah pada panggul. Pembagian manajemen hematoma retroperitoneal adalah sbb :
Zona II : Eksplorasi di semua area cidera yang luas dan hematoma yang berdenyut
Zona III : Eksplorasi hanya pada area yang mengalami penetrasi saja
3. Tindakan Lain
Pada pasien dengan derajat ekstravasasi yang kecil dari tampakan cystogramnya, maka dapat dilakukan manajemen dengan menempatkan kateter uretra sampai vesica urinaria dengan tanpa operasi dan cystostomy. Namun tetap perlu memperhatikan risiko terjadinya hematoma dan infeksi.
Prognosis Trauma Vesica Urinaria
Dengan pengobatan yang tepat, prognosisnya sangat baik. Tabung Csystostomy dapat di tiadakan dalam 10 hari dan biasanya pasien akan berkemih dengan normal. Pasien dengan luka yang meluas hingga ke leher vesica urinaria mungkin akan ada gejala inkontinensia, namun seiring berjalannya waktu (duh, bahasanya—“) akan kembali lagi kontrol berkemihnya. Ketika urin didapatkan maka lebih baik lagi jika dilakukan kultur urin untuk mengetahui adanya infeksi yang tentunya membutuhkan terapi yang lebih lanjut.
Alhamdulillah, selesai…semoga bermanfaat nggih.
Kalo ada kurang atau salah, silakan hubungi nafsa ya.
Semangat untuk ujian blok 3.3 untuk PD 2009, semoga kita semua diberi kemudahan oleh Alloh dalam menjalankannya.
Aamiin.
“It is for life not for school, that we learn :)”
.
0 komentar:
Posting Komentar
feel free to drop any comments, friends! ^^