Recent Posts

Jumat, 02 Juli 2010

medical error




Pada tulisan kali ini, akan sedikit dibahas tentang medical error atau bisa dibilang kesalahan medis. Seperti kita ketahui, saat ini kasus malpraktik sering terjadi dimana-mana. Pelakunya tentu saja seorang tenaga kesehatan, entah itu dokter, perawat, ataupun yang lainnya. Karena ini masalah nyawa dan berkaitan dengan kehidupan seseorang, maka pengetahuan tentang hal ini haruslah dipahami oleh semua orang, baik itu tenaga kesehatannya maupun pasiennya. Sehingga nantinya kesalahan medis yang terjadi dapat lebih diminimalisir dankualitas kesehatan pun dapat menjadi lebih baik.Oiya, dalam tulisan kali ini akan lebih dibahas tentang peran dokternya saja ya. .^^

Baiklah, mari kita mulai..

Sebelumnya temen-temen pernah dengar kasus pasien operasi dan ternyata guntingnya ketinggalan di perut nya gak?? Atau mungkin pernah dengar cerita salah operasi patella (lutut) dimana yang sakit lutut kiri tapi yang dioperasi malah lutut kanannya?? Itu semua benar adanya lho, bukan hanya cerita. Nihh salah satu buktinya,

Kompas, 18 Agustus 2004
“Like Jetty Rondonuwu, penduduk Manado, menjadi korban malapraktik saat operasi lutut di RSUP Manado. Pada awalnya, ia cedera lutut kiri sehingga harus operasi dirumah sakit itu. Karena kelalaian, akhirnya justru lutut kanan lah yang dioperasi. Kesalahan ini baru disadari tim medis rumah sakit sehari setelah pelaksanaan operasi.”

Hmm,ngeri kan bacanya?? Pasti nggak pingin kan kejadian seperti itu bisa terjadi pada kita. Untuk pasiennya sendiri, bisa jadi ada risiko disabilities setelah operasi yang salah itu. Sedang untuk dokternya sanksi kasus malpraktik itu juga berat sekali. Jadi penting sekali pemahaman akan masalah ini, apalagi untuk teman-teman yang bakalan berkecimpung di dunia kesehatan. Jadi, tetap lanjutkan membaca yaa..hehe.



Secara umum, pada prinsipnya medical error akan terjadi apabila pada dua kondisi berikut. Pertama disebut dengan Omission, yakni kondisi dimana seorang dokter tidak seharusnya melakukan tindakan tertentu, tapi justru dilakukan oleh dokter tersebut. Semisal tidak melakukan pertolongan pada pasien, melakukan misdiagnosis, dsb. Kondisi yang kedua adalah Comission, yakni kondisi dimana seorang dokter melakukan sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan. Misalnya adalah melakukan prosedur pengobatan yang salah, atau meresepkan obat yang salah.

Faktor-faktor yang dapat menyebabkan seorang dokter melakukan malpraktik pun bermacam-macam. Mulai dari kelalaian sendiri sampai pada ketidakpatuhan terhadap Standar Operasional Prosedur yang telah ada. Atau bisa juga karena kurangnya ilmu tentang masalah penyakit tersebut, dimana dokter bertindak hanya sebatas pengalaman saja, tanpa memiliki keinginan untuk mencari informasi baru tentangpenyakit tersebut. Padahal ketika akan melakukan suatu tindakan, dokter diwajibkan melandaskan tindakannya tersebut pada Evidence Based Medicine yang paling valid dan yang dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, biasanya seorang dokter lebih senang menerapkan nilai pembenaran dibandingkan nilai kebenaran. Memang bedanya apa antara pembenaran dan kebenaran?? Emm, gini deh saya coba buat contohnya. Semisal, ada seorang pasien, dengan diagnosis penyakit infeksi. Maka dokter akan lebih sering berpikir “Jika infeksi,berikan antibiotik” bukan berpikir “antibiotik digunakan untuk mengatasi infeksi”. Nah, pernyataan yang pertama itu disebut nilai pembenaran,karena tidak semua penyakit infeksi harus diobati dengan antibiotik. Sedangkan pernyataan kedua itu termasuk nilai kebenaran karena antibiotik memang digunakan untuk mengobati penyakit infeksi. Sampai sejauh ini masih paham kan?? Klo nggak jelas, ntar tanya aja ya..hehe

Baiklah, lanjuut..

Nah, kesalahan dokter yang sering terjadi namun sering tidak disadari adalah dalam hal peresepan obat. Padahal hal ini termasuk tindakan medis yang sangat berperan dalam terapi penyembuhan pasien. Maka dari itu, ketika seorang dokter meresepkan obat, diwajibkan bagi dia untuk memberikan obat tersebut dengan benar dan rasional. Atau istilah lainnya adalah Rational Use of Drugs. Namun, saat ini justru lebih banyak ditemukan ketidakrasionalan dalam peresepan obat. Jadi, selanjutnya mari kita bahas kesalahan-kesalahan yang biasa dilakukan oleh seorang dokter dalam peresepan obat.

Check this out!!

1. Missed Dose
Kesalahan pertama yang biasa terjadi adalah dosis yang salah. Sebagai contoh,kita pakai antibiotik lagi ya. Seperti kita ketahui, antibiotik merupakan salah satu obat yang dosis nya harus dikontrol dengan tepat. Namun, kebanyakan dokter ketika meresepkan antibiotik, justru langsung memilih antibiotik dengan dosis tinggi dengan alasan agar pasien cepat sembuh. Padahal ,apabila dari awal obat antibiotik yang dipakai untuk melawan infeksi bakteri tersebut tinggi, maka di kemudian hari ketika terjadi infeksi bakteri lagi akan terjadi resistensi, dimana antibiotik tersebut sudah tidak bisa dipakai lagi melawan infeksi bakteri tersebut. Trus klo yang dosis tinggi saja udah nggak ampuh, gimana dengan dosis yang lebih rendah? Pasti lebih nggak bisa melawan infeksinya kan?

Selain itu, salah satu kesalahan dosis yang juga sering dilakukan oleh dokter adalah meresepkan minum antibiotik 3x sehari. Klo 3x sehari berarti kan minumnya pagi, siang dan malam kan?? Berarti sekitar pukul 07.00,13.00 dan 19.00. Padahal, waktu paruh antibiotik dalam tubuh itu kira-kira 8 jam. Jadi klo semisal diminum jam segitu, maka malamnya nanti dari pukul 19.00 -07.00 (12 jam ) tidak ada uptake antibiotik. Akibatnya, kadar antibiotik dalam darah ketika malam hari menjadi tidak ada. Padahal kadar terapetik antibiotik dalam darah itu harusnya stabil. Klo nggak stabil, penyakitnya pun akan sulit sembuh. Jadi seharusnya dokter meresepkannya diminum setiap 8 jam sekali bukan 3x sehari. Jadi klo dimulai pukul 07.00, berarti selanjutnya harus diminum pukul 15.00 dan 23.00. Sehingga nantinya kadar antibiotik dalam darah menjadi stabil.

2. Wrong Technique
Kesalahan kedua dalam peresepan obat adalah teknik yang salah. Contohnya adalah peresepan obat dengan puyer. Sebagai contoh pasien diberi obat A, B, C, dan D dimana salah satunya adalah antibiotik. Nah, ketika teknik pemberian obat dengan puyer itu dilakukan, otomatis semua obat tersebut akan digerus jadi satu, dan dibagi berdasarkan waktu minum obatnya. Akibatnya, dosis obat di tiap bagian menjadi tidak sama. Klo di gerus gitu kan dibaginya belum tentu sama kan? Cuma dikira-kira pakai sendok, dan kandungan obat di tiap bagian pun belum tentu sama. Selain itu, klo obat digerus jadi satu gitu nantinya harus diminum sampai habis semuanya. Padahal, klo antibiotik itu kan maksimal diminum 5 hari. Tapi karena digabung dengan teman-teman obatnya, jadi harus diminum sesuai waktu yang diberikan, bisa kurang atau lebih.

Hal lain yang perlu diketahui dari kekurangan puyer adalah, ada beberapa obat yang termasuk dalam coated drugs, dimana obat-obat tersebut memiliki selaput pelindung. Selaput itu digunakan untuk memastikan obat-obat tersebut tidak di cerna dalam lambung, tetapi di dalam usus yang menjadi sel targetnya. Nah, klo digerus akibatnya selaput pelindung obatnya jadi rusak, dan akibatnya ketika diminum obat tersebut menjadi rusak karena asam lambung, dan tidak berfungsi dalam penyembuhan.

3. Duplicate Therapy
Kesalahan selanjutnya yang sering terjadi adalah treatmen ganda. Dimana pasien diresepkan dengan jenis obat yang sama, tapi dengan merek yang berbeda. Semisal, ada seorang pasien mengalami inflamasi (radang), dan oleh dokter diresepkan 2 macam obat jenis steroid dan 2 macam obat jenis NSAID ( Non Steroid Anti Inflammatory Drugs) dengan alasan agar inflamasi nya cepat sembuh.Tapi nanti bukannya sembuh, justru malah akan ada efek samping yang terjadi akibat kadar yang berlebihan dalam tubuh.

4. Error Transcription

Selanjutnya, kesalahan yang sering terjadi adalah kesalahan yang terdapat dalam resep. Kebanyakan kasus terjadi karena tulisan dokter yang terlalu jelek, sehingga apoteker tidak mampu membacanya dengan benar. Akibatnya klo salah baca resepnya, obat yang diberikan pada pasien pun akan salah. Jadi klo ada yang bilang jadi dokter tulisannya harus jelek, maka itu benar-benar salah, teman. Maka dari itu jika ingin menjadi dokter yang baik, berlatihlah menulis dengan tulisan yang bagus, sehingga mudah dibaca dan mengurangi risiko terjadinya kesalahan peresepan. Trus insyaa Alloh dapat pahala juga karena nggak mempersulit kerja apotekernya. .hehe.

5. No Clear Indication
Kesalahan kelima adalah obat yang diresepkan tanpa indikasi yang jelas. Yakni seorang dokter meresepkan suatu obat bukan karena indikasi utamanya, tapi karena efek lain yang ditimbulkan oleh obat tersebut. Semisal ni ya, ada seorang pasien datang ke dokter mengeluh kesulitan tidur. Maka dokter memberikan resep obat CTM (Chlortrimetron). Padahal CTM itu termasuk obat anti histamin, dimana indikasi utamanya adalah alergi. Sedangkan efek mengantuk hanyalah efek samping lain yang ada pada obat tersebut. Jadi nggak benar meresepkan CTM untuk obat kesulitan tidur.

6. Excessive Therapy
Yakni kesalahan akibat pemberian obat yang berlebihan. Obat diberikan pada pasien berdasarkan gejala yang ditimbulkan, bukan karena penyakitnya. Padahal tugas utama seorang dokter adalah menegakkan diagnosis dari penyakit tersebut berdasarkan gejala-gejala yang ada. Semisal, seorang pasien mengeluhkan demam, sakit perut, tidak nafsu makan dan pusing. Klo diberi obat berdasarkan gejalanya, maka nanti akan ada 4 obat yang diberikan. Padahal klo di diagnosis lebih lanjut, gejala-gejala tersebut bisa mengarah ke typhoid. Dan obat dari typhoid itu salah satunya adalah Chloramphenicol. Jadi kesimpulannya adalah, yang seharusnya diobati itu bukanlah gejalanya, tetapi penyakitnya.

7. Drugs Interaction
Ini juga kesalahan yang sering terjadi, dimana seorang dokter meresepkan berbagai macam obat pada pasien tanpa mengetahui interaksi antar obat yang diberikan. Padahal tiap-tiap obat memiliki interaksi yang berbeda-beda jika diberikan bersamaan. Sebagai contoh, ada seorang pasien dengan penyakit anemia dan infeksi bakteri. Maka dokter akan memberikan antibiotik untuk infeksi bakterinya dan Fe(zat besi) untuk anemianya. Padahal kedua obat tersebut apabila diberikan bersamaan akan berinteraksi. Dan interaksi yang terjadi pada kasus ini adalah apabila Fe dan antibiotik diberikan bersamaan, maka kadar antibiotik dalam darah akan turun. Hal ini disebabkan absorbsi terhadap Fe jauh lebih tinggi dibandingkan antibiotik. Sehingga antibiotik akan lebih banyak yang tereliminasi dan tidak menimbulkan efek terapetik dalam tubuh.
Selain itu juga harus diperhatikan bagaimana interaksi obat dengan zat lain. Semisal apakah obat tersebut harus diminum setelah makan, sebelum makan, diminum dengan susu, atau yang lainnya. Karena masing-masing obat memiliki interaksi yang berbeda-beda.

8. Excessive Cost
Yakni harga yang berlebihan dalam peresepan obat. Hal ini sering terjadi dimana dokter lebih senang meresepkan obat bermerek dibandingkan obat generic pada pasien. Hal ini disebabkan karena dokter ingin mengambil keuntungan yang besar, dan sudah bekerja sama dengan pabrik obat tertentu. Sebagai contoh seorang dokter meresepkan obat Ponstan untuk analgesik (pereda nyeri) pada pasien. Harga Ponstan 250 mg XV yang berisi Asam Mefenamat kira-kira adalah Rp. 18.700,00. Padahal dengan kandungan yang sama, pasien dapat membeli Asam Mefenamat 250 mg XV generic dengan harga Rp. 3000,00. Harganya beda jauh kan??

9. No Evidence Based Medicine
Kesalahan lain yang sering dilakukan adalah seorang dokter memberikan resep pada pasien dengan suatu obat yang belum jelas apakah obat tersebut bisa dipakai atau tidak. Karena mungkin penelitian yang ada di jurnal tentang obat tersebut kurang valid dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Sehingga akibatnya pasien lah yang akan menerima konsekuensi dari pemberian obat tersebut. Padahal sejatinya seorang dokter ketika akan melakukan tindakan medis harus berdasarkan pada Evidence Based Medicine yang paling baik.

.

Sebenarnya masih banyak lagi kesalahan-kesalahan yang sering terjadi dalam bidang kesehatan. Tapi mungkin dibahas lagi lain waktu saja ya, insyaa Alloh. Intinya adalah, sebenarnya kesalahan medis itu tetap dapat dikurangi. Salah satunya adalah dengan melibatkan pasien pada terapi yang akan dilakukan. Sehingga nantinya pasien lebih paham dan mengerti tentang terapi apa yang akan diberikan oleh dokter tersebut. Selain itu, diperlukan pula kepedulian dokter dalam tindakan medis yang dilakukan. Serta harus ada pula kontrol dari pemerintah mengenai masalah tersebut.


Alhamdulillah, selesai juga akhirnya.
Semoga tulisan ini bermanfaat, teman.

^^
Kosan,2 Juli 2010.
7:13 PM
-detik-detik menjelang ujian blok-


intisari dari Upgrading 1 Medical Science Club FK UGM
oleh Prof. dr. Iwan Dwiprahasto, MMedSC, PhD.

10 komentar:

warna font'nya kok putih ya dek??
capek saya baca'nya, padahal pingin baca karena sepertinya menarik.
bisa diganti nggak warna font'nya?
jadi hitam gitu, biar lebih nampak.

iya mas, pinginnya sih saya ganti jadi hitem apa ijo tua gitu.
Tapi emang bisa ya?
soalnya dari templatenya udah gitu.

dibacanya pelan-pelan saja supaya ndak capek.
hehe.

sudah saya ubah warnanya,silakan lanjutkan membacanya.

lha itu bisa.
gmn caranya??

tulisannya kok panjang bgt ya?
jadi ngantuk.
kalo posting diringkas aja dek, dikasih "read more" gitu.
biar kesannya ga terlalu banyak.
-kok malah menggurui sih saya ini??-

iya bisa, alhamdulillah.

ohh gitu ya??
baiklah, saran diterima.
coba ntar saya otak atik nya deh.

saya pernah membaca tentang hal yang mungkin berkaitan dengan seperti ini, kecelakaan medis, di artikel yang saya baca...pulahan ribu orang di amerika (pastinya ibu-ibu) melahirkan anak dengan cacat yang berbagai macam karena suatu obat(saya lupa namanya)...hal ini disebabkan karena produksi obat yang secara massal tidak bisa terkontrol dengan baik...sehingga senyawa yang semestinya kiral tidak terbentuk...(perlu ketepatan perlakuan tentu saja untuk menghasilkan senyawa kiral)...


(mungkin bisa melengkapi poin yang telah disebutkan)

titanium,
waah, ini commentnya bagus, termasuk dalam medical error yang bisa terjadi.
klo dalam kasus ini, berarti mungkin lebih ke arah kesalahan dokter yang monor 9. dimana dokter memberikan obat yang belum tentu dapat dipertanggungjawabkan.
Karena Evidence Based Medicine itu salah satunya adalah tentang Harm yakni pembahasan mengenai bahaya atau efek samping yang dapat terjadi akibat suatu treatment pegobatan, termasuk diantaranya adalah pemakaian obat.
Mungkin dokter nya tidak begitu memperhatkan efek tersebut, atau belum ada penelitian yang tersedia mengenai efek samping obat tersebut.
Untuk masalah tidak terbentuknya senyawa kiralnya, saya sendiri tdk terlalu paham. Kemungkinan itu pengaruh efek negatif dari obat tersebut. Bisa saja dia menghambat perkembangan fetus ketika masih di rahim, atau mungkin ada efek smping lain ( perlu data akurat terlebih dahulu untuk membahas lebih lenjut).

But overall, terimakasih sudah ikut berbagi.
jangan kapok comment lagi ya.
-minta maaf juga ya, teman..acha yang salah, 'afwan katsir-

waaaah, subhanalloh..
ini tadi ada beberapa soal ujian blok yang keluar dari materi ini ternyata,padahal acha belum punya slide yang dari dosennya.

ternyata menulis blog ada manfaatnya juga ya.
Siiiph.
Lanjut gan!!
:p

untuk komennya titanium,
sekarang saya sudah bisa menjawabnya.
kasus itu memang benar adanya.
beberapa tahun yang lalu memang di Amerika dan dunia digunakan obat yang bernama Thalidomide.
Nah, obat ini digunakan untuk mencegah rasa mual pada kehamilan, yang terutama terjadi pada trimester pertama.
Setelah diteliti lebih lanjut, ternyata obat ini memiliki efek teratogen pada janin yang dikandung. Efek teratogen itu efek yang bisa menumbuhkan kecacatan atau abnormalitas pada janin.
Salah satu efek teratogennya adalah munculnya penyakit Amelia atau Meromelia, dimana ekstrimitas (tangan dan kaki) pada bayi gagal terbentuk sehingga hanya ada batang tubuhnya saja.
Dan sejak saat itulah Thalidomide dilarang keras untuk beredar di masyarakat.

Demikian.
Semoga bermanfaat ya teman :)

Posting Komentar

feel free to drop any comments, friends! ^^