Bismillahirrahmaanirrahiim
In The Name of Alloh The Most Gracious The Most Merciful
Sebuah kisah tentang muslimah. Semoga ada hikmah yang bisa dipetik.
Tahun 2009. Selepas pengumuman ujian masuk universitas dan menanti pengumuman ujian nasional SMA, tak banyak yang kulakukan. Selain karena sudah mendapatkan tempat di salah satu universitas –alhamdulillah, bi idznillah-, aku pun tak diperbolehkan bapak ikut SNMPTN. Maka sembari menunggu pengumuman ujian nasional, mama sering mengajakku bersama beliau untuk pengajian. Dalam sepekan, ada beberapa pengajian yang rutin kami datangi. Namun, dari kesekian itu, ada satu yang teramat berkesan dalam hatiku.
Ustadzah S. Sebut saja demikian. Pertama kali bertemu beliau rasanya teramat asing. Tak seperti kajian yang sering ku datangi sebelumnya. Kali ini aku bisa melihat pengajarnya langsung. Tanpa hijab. Bisa dengan mudah berkontak mata dan memperhatikan beliau. Kesanku saat itu, luar biasa. Kenapa? Teruslah membaca, kawan..
Karena yang kudapat saat itu, bukanlah seseorang yang kubayangkan. Dalam benakku akan kutemukan seorang ustadzah dengan cadar dan jilbab hitam menjuntai tubuhnya. Namun yang kudapati adalah seorang wanita yang sudah tampak lanjut usia. Perkiraanku, usia beliau saat itu sudah mencapai dekade keenam. Namun wajahnya tampak masih segar, bersinar. Dan ditambah dengan senyuman khas yang menenangkan, serta jabatan tangan yang hangat.
Jika tak melihat tangan putihnya yang mulai berkeriput, serta kedua bola matanya yang tampak memburam, aku pasti akan lupa jika beliau sudah lanjut usia. Kadangkala kudapati tangan beliau bergetar kala memegang buku atau gelas ketika minum. Tremor. Begitulah istilah medis untuk menjelaskan getaran tangan yang tak disengaja itu. Dan itu, hanya sekelumit cerita tentangnya. Masih ingin tahu? Teruskan membaca..karena ceritaku belumlah usai sampai disini.
Sering menghadiri pengajian dirumah beliau saat itu, aku menjadi semakin jatuh cinta pada beliau. Begitupun mama. Tak pernah kulihat mama serajin itu mengikuti kajian selama ini. Mama bahkan sudah membeli beberapa buku kecil khusus untuk kajian. Setiap jadwal hari kajian, mama telah menyediakan satu buku. Karena setiap hari materinya akan berbeda. Hari ini materi tentang fikih, hari lain akan ada materi tentang yang lain. Begitulah. Bahkan seringkali aku ditinggal mama karena terlalu lama bersiap diri. Pagi-pagi mama sudah bersiap untuk berangkat mengaji. Takut terlambat. Kata mama, sayang sekali jika terlambat mengikuti pengajian beliau.
Dan semakin lama, aku mengerti kenapa mama bisa jatuh cinta pada beliau sebegitu dalamnya. Ustadzah S ini berbeda dari ustadzah-ustadzah lain yang pernah kutemui sebelumnya. Setiap nasihatnya berisi. Karena beliau sudah makan asam garam kehidupan yang bergantian menemaninya. Setiap kata yang beliau keluarkan dari lisannya, maknanya sungguh dalam. Yang paling aku suka adalah setiap kajian beliau seakan menjabat hati kami satu persatu. Menyelisik hati, membuat kami tergugah dengan sendirinya.
Permasalahan yang beliau ajarkan pada kami, tak serta merta idealis. Beliau senantiasa mendekatkan kami pada realita yang ada pada masyarakat. Membenarkan setiap sikap kami dengan cara halus, namun tegas. Mungkin, awalnya akan terasa tersindir. Namun, seiring berjalannya waktu justru ketagihan mendengar untaian kalimat beliau yang begitu dalam menyentuh kalbu.
Dan yang membuatku terkagum-kagum adalah, beliau senantiasa berusaha menerapkan ilmunya untuk diri sendiri terlebih dahulu. Meski beliau tak pernah mengungkap langsung, namun banyak cerita yang kudengar dari mama. Kenyataan bahwa beliau dulu pernah bercerai dengan suami karena perbedaan prinsip agama. Kesulitan beliau dalam menghidupi anak-anak seorang diri. Serta keteguhan hati beliau untuk menjalani kehidupan dengan penuh sabar dan syukur.
Selain itu ibadah beliau pun tak kuragukan. Tak kutemui televisi dalam rumah beliau yang mungil. Hanya ada radio, itupun untuk mendengarkan Al-Qur’an. Selepasnya, beliau isi sisa umur dengan mengajarkan ilmu agama pada ibu-ibu disekitarnya. Setiap harinya, ada jadwal materi yang berbeda. Saat mengajarpun, beliau hafal nama dan nomor surat yang disebutkan. Sering kali ketika membahas suatu masalah, beliau meminta kami membuka surat ini, nomor ini, ayat sekian. Persis seperti yang sudah beliau sebutkan. Yang membuatku bertambah kagum lagi adalah, hingga usianya sekarang, beliau masih rutin menjalani puasa Daud. Subhanallah!
Pantas saja, mama begitu jatuh hati pada beliau.
Kini, setelah hampir 3 tahun di Yogya, jarang aku bisa menghadiri kajian di rumah beliau. Hanya setiap akhir pekan ketika pulang, bersama mama, adik dan kakak, kami menyempatkan diri. Meskipun demikian, bagiku beliau sosok seorang muslimah yang luar biasa. Karena dalam kesederhanaan, beliau mampu bersinar. Mengayomi, membimbing dan mengajarkan ilmu dengan semangat yang luar biasa. Usia nya yang lanjut pun tak menjadikannya lemah dalam beribadah. Subhanallah.
“Barokallahu fiik, ustadzah..”
Semoga Allohu Ta’ala membalas setiap kebaikan Ustadzah dengan kebaikan yang lebih banyak
Serta mengumpulkan Ustadzah kelak bersama orang-orang sholih dalam syurga-Nya.
Aamiin.
0 komentar:
Posting Komentar
feel free to drop any comments, friends! ^^