Sabtu, 23 September 2017
Sabtu, September 23, 2017
1 comment
Jauh di Mata. Dekat di Hati
Bismillaahirrahmaanirrahiim
In The Name of Allaah The Most Gracious The Most Merciful
Dering suara
handphone membuyarkan lamunanku. Tampak foto profil suamiku terlihat di layar.
Aku segera mengangkat video-call darinya.
“Assalaamu’alaykum,
Sayang…”
“Wa’alaykumussalaam,
Mas...”
“Maaf ya,
teleponnya jadi kemalaman. Disana udah hampir jam 12 malam ya?”
“Iya gapapa,
belum ngantuk kok. Lagi mikirin sesuatu ini...”
“Mikirin apa,
Sayang?”
“Tentang kita,
Mas…”
Seketika
pikiranku terbang mengingat memori dua
tahun terakhir ini. Kenangan peristiwa yang mewarnai pasang surut kehidupan
pernikahan kami berdua.
November, 2015
Kisah
pernikahan jarak jauh kami dimulai di bulan kedelapan pernikahan kami. Ketika
saya mengikuti program Internship Dokter Indonesia di Jogja, sedangkan suami
bekerja sebagai Engineer di Cikampek. Meski sedang berjauhan, ikhtiar kami
berdua untuk segera memiliki keturunan tak lantas berhenti. Namun,menginjak
bulan kesebelas pernikahan, tanda kehamilan belum muncul juga.
“Mas, aku dapat haidh lagi...”
“Gapapa Sayang, insyaa Allaah
bulan depan kita coba lagi ya...”
“Aku udah capek,
Mas. Setiap bulan aku pusing ngotak-atik jadwal jaga biar kita bisa ketemu.”
“Iya, sayang.Mas
paham banget perasaanmu. Kita santai saja ya. Insyaa Allaah kalau udah waktunya
Allaah pasti akan ngasih buah hati. Sabar ya sayang...”
“Iya, Mas.
Kayanya aku harus lebih belajar pasrah sama Allaah...”
Februari, 2016
“Sayang,
aku mau cerita...”
“Kenapa, Sayang?”
“Alhamdulillaah
aku positif hamil, Mas. Itu hasil
testpack 3 hari terakhir, aku kirimin gambarnya ya”
“Saayaaaaaang…Mas terharu
bangeeeett...ya Allaah Alhamdulillaah…”
“Aku pingin peluk Mas...”
“Heeem…Mas juga pingin banget
peluk kamu, Sayang...”
Tanpa kami
berdua menyangka dibulan keduabelas pernikahan akhirnya saya hamil. Tantangan
selanjutnya pun hadir. Di sebuah kamar kos yang kecil dengan perabotan yang
terbatas, saya menjalani kehamilan pertama saya sendiri. Meski diliputi rasa
sedih, saya harus kuat dan tabah demi janin dalam kandungan saya.
“Hari ini muntah
nggak, Sayang?”
“Muntah, banyak
banget sampai ke lantai…”
“Ya Allaah, trus
ini sekarang badannya gimana? Lemes ya?”
“Lemes banget.
Perutku juga kerasa agak kenceng tadi habis RJP pasien. Lupa kalau lagi hamil,
hehe.”
“Istirahat ya,
Sayang. Jangan sampai kecapekan…”
September, 2016
Bandara
Adi Soemarmo menjadi saksi kesedihan saya saat itu. Setelah menjalani kehamilan
seorang diri di perantauan, kini menjelang persalinan saya justru harus ikhlas
melepas kepergian suami ke benua biru. Jarak kami berdua semakin membentang.
Perbedaan kota, negara, benua serta zona waktu semakin memisahkan. Ketika
beliau berpamitan, mengecup kedua pipi saya, kemudian mengusap janin dalam
kandungan saya, air mata saya tak terbendung lagi. Saya melihat kesedihan yang
sama di wajah suami. Dan kamipun berpelukan lama sekali.
Oktober, 2016
Ketika
memeriksakan kehamilan di bulan kesembilan, saya justru mendapatkan kabar yang
mengagetkan. Janin dalam kandungan sudah kekurangan oksigen sehingga harus
segera dilahirkan dengan operasi. Saya merasa takut, kaget, cemas dan bingung
mendengarnya. Akhirnya saya menelpon suami, meski disana hari masih pagi buta.
“Mas, aku harus operasi siang
ini…”
“Astaghfirullaah. Kenapa
Sayang?”
“Dedek kekurangan oksigen, jadi
harus dikeluarkan segera. Doain operasinya lancar ya, Mas. Aku juga minta maaf
kalau selama ini ada kesalahan sama Mas. I love you.”
“ Ya Allaah… Bismillaah semoga
operasinya lancar ya…I love you more, honey”
Seusai operasi, suami menelpon ingin mendengar
suara saya. Pertama kali saya mendengar suara beliau, tangis saya tumpah.
Beliau pun menangis sesenggukan di seberang sana. Tak terlukiskan perasaan kami
berdua saat itu Kami berdua menangis bersama.
Kembali ke malam
ini, tanpa terasa kami sudah mengobrol cukup lama. Mengalirkan rasa sekaligus
melepas kerinduan yang selama ini tertahan.
“Nggak kerasa ya,
ternyata kita udah hampir dua tahun LDM. Maafin Mas ya, Sayang. Nggak bisa
nemenin kamu disana.”
“Iya... Aku juga
minta maaf belum bisa mendampingi Mas. Kuliah S2 di negeri orang pasti juga
berat ya.”
“ Semoga kita
segera bareng lagi ya, Sayang. Aamiin”
“Aamiin. Udah
malam banget ternyata. Aku tidur dulu ya, Mas.”
“Oke . Makasih buat telponnya malam ini ya. I miss you so
much honey”
“I miss you too,
Mas.”
Dan sesi video-call kami pun
berakhir malam itu.
Hidup adalah rangkaian pilihan
dan setiap pilihan memiliki konsekuensinya. Saat ini, pernikahan jarak jauh
adalah pilihan terbaik yang kami punya. Namun kami akan tetap berusaha
menjalani pilihan itu dengan bahagia. Lewat inilah kami belajar, bahwa momen
bersama pasangan adalah salah satu nikmat yang sangat patut untuk disyukuri.
Dan meski berjauhan, cinta itu masih tetap bisa ditumbuhkan. Karena sejatinya,
jarak dan waktu tidak akan pernah memisahkan dua hati yang saling peduli. Meski
jauh di mata, kami tetap merasa dekat di hati.
-nafsacha-